ROMANSA


Aku Ani, santriwati salah satu pesantren di Jawa Timur. Kota kecil ini dikenal orang sebagai kota santri, banyak pesantren militant di sana, sebuah daerah yang sejuk berada di puncak dan selalu dirindukan siapa saja yang bernah berkunjung ke sana. Bagiku sih kota ini cukup menyimpan banyak kenanganku, enam tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk kuhabiskan di kota kecil ini, tentu banyak hal, tragedi, pengalaman, masalah, dan lainya sudah menjadi bagian besar di memoriku.

  1994 adalah tahun ke empat aku mendiami pesantren ini, aku baru saja selesai menyuci baju kotorku di belakang dan di waktu yang pas sekali selesai aku menjemur baju-baju itu salah seorang temanku bilang katanya aku di panggil ustadzah Zahra di kantor asrama. Kutemui beliau di kantor asrama itu lalu diberikannya aku kertas jadwal yang baru,

“Coba kamu cek apa yang kurang di jadwal baru itu Ani, kalau udah selesai bilang ke ustadzah ya. Ustadzah ada di ruang operator sebelah” perintah ustadzah Zahra
“Siap ustadzah” jawabku penuh semangat.
  Sudah menjadi amanah bagiku untuk melakukan beberapa tugas dan membantu para pengajar disini, karena aku adalah salah satu santriwati yang Alhamdulillah seringkali dipercaya mewakili  para pengajar di pesantren dan aku juga sudah dipercaya sangat baik oleh ustad Arifin yaitu kepala pesantren disini.

“Jadwal dari ustadzah sudah saya teliti semalam, dan semua sudah sempurna, silahkan ini jadawalnya ustadzah” saya menyerahkan jadwal tersebut kembali kepada beliau.
Baru aku berbalik badan hendak balik ke kamarku ustadzah Zahra buru-buru mencegatku lagi. Diberinya aku tumpukan paket dan surat dari pos, dan siang ini akulah yang disuruh untuk memilah paket dan surat mana yang boleh  dan layak diterima oleh santriwati lainnya karena memang semua surat harus disortir terlebih dahulu sebelum diberikan kepada para santri yang berhak. Tak banyak juga sih paket yang ditahan, tapi tunggu, ini kok ada surat untukku, dari seorang lelaki? Dadaku berdegup kencang… ada desiran aneh saat membaca nama pengirimnya…

“Zarkasih. Ini kan…” bibirku serasa keluh…tapi jujur ada rasa gugup saat hendak membukanya.

  1990 merupakan tahun pertamaku pindah ke jenjang SMP. Tahun ini berjalan dengan baik, prestasi, kesenangan, juga kuraih tahun ini. Sekarang adalah bulan Ramadhan dan di hari kedelapan ini aku ikut program pesantren kilat di smpku, acaranya asik karena pengisi acaranya yang pinter pinter mengelola acaranya dengan apik. Kelas B ini penuh teman sebayaku, dengan cuaca siang hari yang lumayan terik aku tetap semangat mengikuti program pesantren kilat di hari keempat ini, aku duduk di tengah kelas dan di tengah bangku panjang diampit 2 temanku yang lain. Dengar dengar nama pengisi acara di siang ini adalah Kak Zarkasih, aku sih kenal beliau soalnya dia masih sepupuku. Pemuda tampan itu nampak rapi mengenakan celana bahan dipadu kemeja biru bergaris putih lengkap dengan kacamatanya yang khas.

“Assalamu’alaikum, sudah lihat jadwal hari ini kan. Iya yang ngisi sekarang kak Zarkasih”

Temanku pada heboh jika dilempar senyum oleh kak Zarkasih, memang senyumnya itu… ah lupakan lah aku tak bisa mendefinisikannya, terlalu indah. Di penghujung acara dilontarnya sebuah pertanyaan sontak semua ingin menjawab tapi dengan cepat kuangkat tanganku tinggi tinggi agar paling terlihat.

“Itu Ani kan, jawabanmu luar biasa” pujinya padaku lengkap dengan senyumnya
Ah… salah tingkah aku dipuji oleh kak tampan eh, kak Zarkasih.
  1994, sore ini aku tengah berbaring di ranjang atas dengan suasana yang agak ramai di kamarku aku hanya diam, salah tingkah karena kak Zarkasih mengabariku lewat surat.

“Salam balik kak Zarkasih, semoga kamu juga sehat di Yaman sana” gumamku

Maaf aku tak bisa membalas suratmu kak, karena terhambatnya akses untukku mengirim surat kesana.

  Surat itu tak hanya sekali dikirim olehnya. Setiap kabar terbarunya dikirimnya padaku dan surat itu tak pernah usai, tetap berlanjut tanpa hambatan karena tawaranku pada ustadzah Zahra untuk memeriksa tiap paket yang datang adalah urusanku telah diterimanya.

Liburan tengah semester tiba, hore… aku bisa istirahat sebentar dari ingar-bingar kehidupan pesantren. Hari ini aku ke rumah Anita, cewek yang biasa dipanggil Nita ini juga sepupuku. Aku kesana dengan mengayuh sepeda, belum sampai di rumah Nita ada suara memanggil namaku di belakang sontak aku menoleh.

“Duh kak Zarkasih kok dirumah?” (rasanya mukaku mulai hangat dan mungkin memerah karena malu, darahku juga tiba-tiba berdesir kencang), gumamku dalam hati.

“Ani… gak mampir?” panggilnya, sambil menaruh sapu yang dari tadi dipakainya dan dengan kerlingan mata seolah sengaja menggodaku.

Oh Tuhan, salah tingkah aku, dia terlihat keren padahal yang ia kenakan hanya kaus oblong putih dan celana putih terlihat bercahaya di mataku. Tapi dia kok di rumah ya, setahuku dia masih kuliah di Yaman. Dengan wajah memerah aku buang muka dan langsung kukayuh sepedaku melanjutkan ke rumah Nita walau terasa sangat berat karena gugup. Kulihat ternyata dia mengikutiku di belakang, oh… gayuhan pedalku terasa seperti melambat.

“Nita… aku langsung masuk kamarmu ya”
“eh Ani, iya gapapa”

Aku kembali terpaku ditempat saat dia memanggil namaku lagi, oh jadi salah tingkah aku hanya karena disapanya. Di ruang tamu yang agak kecil itu dia berdiri sedang menyapa abangnya Nita yang seumuran dengan kak Zarkasih.

“Nit, masak iya kak Zarkasih tadi di depan nyapa aku pake embel-embel cantik”

“eh ciyeeee, dirayu kak Zarkasih yang kece nih, ahahahaaa itu orangnya lagi didepan sama bang Ayat kan”
Dasar Nita, bukannya mendengarkan ceritaku dengan baik malah dia ngledekin aku.

Tak hanya sekali itu saja aku digoda oleh kak Zarkasih, seperti pada suatu hari ketika ibuku menyuruhku untuk mengantar pisang ke rumah Budhe Fatimah.

“Nduk… tolong antar pisang ini ke Budhe Fatimah” pinta ibuku kepadaku.

“Iya buk”
Huh kerumah Budhe Fatimah berarti kerumah kak Zakarsih dong?

Duh lewat pintu belakang aja ah nanti.
“Assalamu’alaikum, Budhe…”
“eh ternyata sinduk ayu yang salam, Budhe lagi dirumah tetangga taruh situ aja pisangnya” kata kak Zarkasih.
Setelah menaruh pisang di meja aku langsung saja pulang daripada semakin salah tingkah aku disana. Gimana gak salah tingkah…lah digodain terus sih sama si babang tampan…uhuy.

  1995 alhamdulillah Abah bisa melaksanakan ibada.h haji di Makkah sana, dan turguide hajinya Abah ternyata adalah kak Zarkasih sendiri. Beliau diutus oleh suatu tour and travel karena dirasa ilmunya tentang haji sudah sangat cukup dan kebetulan beliau juga mahasiswa asal Indonesia yang sangat berprestasi.
Di sana kak Zarkasih sering mendekati Abah, mungkin alasannya adalah PDKT, hihihi. Dua lelaki idolaku itu sedang berbincang kearah yang lebih intens, yaitu perihal perasaan serta niatnya untuk mempersuntingku. Dan ditanah suci kak Zarkasih mengutarakan apa yang telah lama ia pendam terhadapku, melalui Abah secara langsung, beliau berniat mempersuntingku bulan depan dengan tujuan untuk sekadar mengikat hubungan halal dalam segala bentuk komunikasi kita, setelah menikah pun kak Zarkasih tetap memperbolehkanku melanjutkan studi hingga selesai dan beliau pun akan melanjutkan studinya di Yaman, menurut beliau jalan inilah yang selayaknya diambil demi tetap dalam ridho Ilahy.
Kabar gembira datang bersamaan dengan tibanya Abah dari tanah suci ke rumah. Abah merestui niat baik kak Zarkasih, begitupun keluarga besarku dan keluarga besar kak Zarkasih sendiri. Tak lama kemudian kabar itu menuju kepadaku, karena Abah pagi ini sedang mengunjungiku di pesantren.

“Nduk… nak Zarkasih melamarmu di tanah suci melalui Abah langsung, dan Alhamdulillah kedua keluarga besar sudah merestuinya, tepatnya bulan depan rencana akadnya, nduk… sudah sah menjadi istri nak Zarkasih. Apa sinduk maa…”, belum selelai kalimat akhir Abah

“Mau bah” jawabku cepat dengan wajahku yang sepertinya sangat memerah karena aku malu dan masih tidak percaya akan hal yang kudengar dari Abah, entah dorongan apa yang membuatku begitu cepat mengambil keputusan…apa karena perasaan yang telah lama membuncah… atau apa?

“Hehehe, Alhamdulillah kalau sinduk sudah seneng dengan hal ini dan menerima lamaran Zarkasih” wajah Abah nampak bahagia dan tenang.

Abah pun menjelaskan tentang semua hal yang sudah dibicarakannya empat mata dengan kak Zarkasih saat di tanah suci.

“Kyaaaaa… aku dilamar kak Zarkasih…” teriak ku sesampainya dikamar karena kebahagianku tak terbenduung lagi
Tanpa sadar banyaknya temanku di kamar itu dan tak semua anak adalah anak yang baik-baik bahkan ada yang ember banget ada rasa hasud padaku entah apa penyebabnya. Segala persiapanku untuk pulang sudah siap hari ini tinggal nunggu jemputan abah saja.  Dan aku akan pulang hari ini juga seandainya surat kaleng itu tak pernah datang kerumah kak Zarkasih kemarin.

  Rabu siang ini pak kurir datang membawa surat atas namaku ke rumah kak Zarkasih. Sungguh surat itu bukan dari tulisan tanganku bahkan aku tak tau ada surat mengatas namakanku tanpa seizinku sama sekali. Diserahkannya ke Ayah kak Zarkasih setelah dibaca olehnya, emosi, benci seketika menghapus suka cita yang hadir dirumah kak Zarkasih karena surat terkutuk itu. Surat yang berisi penghinaan, celaan, bahkan penolakanku dan semua hal buruk tertulis disurat itu ditujukan ke kak Zarkasih. Amarah datang ke pihak keluarga besarku, keluarga kak Zarkasih tak terima akan semua hal yang tertulis di kertas itu lantas semua hal tentang pernikahan, tentang penyatuan dua keluarga itu batal. Dan hancur leburlah kepercayaan serta harapan-harapan yang telah kurajut dalam angan-angan kami selama ini.

  Kamis pagi ini Abah kembali mengunjungiku. Mendengar namaku dipanggil aku sontak berteriak kegirangan dengan dugaan dijemput untuk pulang dan mempersiapkan segala hal tentang pernikahanku dengan kak Zarkasih tanpa tahu-menahu perihal surat terkutuk itu. Ternyata kedatangan Abah adalah untuk menanyakan padaku mengapa aku menulis surat itu padahal kemarin-kemarin aku sudah menerima lamarannya, juga menanyakan tentang semua hal yang tertulis di surat itu. Sungguh aku tak mengerti sama sekali apa yang sedang dibicarakan oleh Abah, dengan nada layu tanpa nada tinggi sedikit pun sedari tadi Abah tetap menanyakan padaku secara lembut sekali, tanpa amarah, tak langsung menuduh, Abah… seorang Ayah yang bijak dan memang terlalu sayang padaku.

  Setelah Abah menceritakan tragedi seputar surat kaleng tersebut dan tanggapan keluarga besar kak Zarkasih, aku sontak kaget dengan hal tersebut. Hingga aku berkali-kali mengucap sumpah di depan Abah beriringan dengan derasnya air mata, aku masih tak percaya akan hal yang terjadi. Pikiranku kacau, Abah percaya dengan penjelasanku lantas beliau memelukku, meneteskan beberapa butir air matanya namun tetap berusaha tegar di depan anaknya. Pupuslah harapan dan harapan yang telah kuimpikan…kami putus.

  1997 aku kuliah di kota kelahiran. Selama kuliah aku sekalian magang mengajar di sebuah pesantren yang tak jauh tempatnya hitung-hitung sebagai tempat tinggal selama aku kuliah. Hari minggu ini aku kosong jadwal kuliah juga mengajar kelas di pesantren, kamar 5 kali 5 meter ini nampak luas karena hanya ada dua Kasur kecil tanpa ranjang di tengah dan dua lemari kecil pula di samping kanan menyisakan satu jendela terbuka di tembok belakang. Di siang yang malas itu  aku sedang berbaring sembari membaca salah satu buku, samar-samar kudengar ada yang memanggilku di bawah saat ku cek ternyata aku dipanggil oleh kyai Mukrof yaitu pemilik pesantren tempatku magang ini. 

  Duduklah aku di kursi menghadap kearah kyai Mukrof dengan batas meja yang agak berantankan penuh buku dan berkas-berkas milik kyai. Kyai membuka pembicaraan tentang potensiku dan prestasiku selama magang mengajar di sini hingga lanjut menceritakan tentang anaknya yaitu Gus Ali yang umurnya terpaut lima tahun lebih tua dariku, hingga sampai dimana kyai mengutarakan niatnya untuk menjadikanku sebagai menantunya.

“Sebelumnya maaf kyai, bukan bermaksud menolak tapi saya sekarang sedang menunggu seseorang”, penolakkanku beserta jelasku pada kyai (tak bisa dipungkiri bahwa aku masih sangat berharap kepada kak Zarkasih meski sudah putus hubungan selama dua tahun lamanya).

  Bukan malah kecewa menerima jawabanku, kyai justru menanyakanku tentang lelaki pujaan yang sedang kutunggu itu. Alhasil kuceritakan semuanya dari awal hingga kini sudah putus hunbungan dua tahun, aku tak ragu sedikit pun menceritakan itu semua karena disini kyai Mukrof sangat baik padaku bahkan sudah seperti ayah angkatku disini. Beliau sangat ingin membantuku untuk memperbaiki hubunganku dengan kak Zarkasih, ditanya kepadaku nama tempat kak Zarkasih melanjutkan studi di Yaman, beliau bilang punya banyak akses tentang banyak hal yang berkaitan dengan perguruan luar negri dan ternyata setelah kuberi tahu nama tempat studi kak Zarkasih di Yaman dan alhamdulillah kyai punya kenalan disana.

“Ini nduk kertas, kamu tulis apa saja yang ingin kamu sampaikan kepada mantan tunanganmu, nanti akan kukirimkan ke Yaman agar nak Zarkasih tau yang sebenarnya. Dan nanti akan dikirim beserta fotomu berada di pondok ini dan tanda lengkap darimu sebagai bukti ini surat yang asli darimu nduk”

“Terimah kasih banyak nggih kyai”, kujawab ucapan beliau sambil berkaca-kaca penuh haru, betapa mulianya hati Kyai Mukrof, barakallah Kyai.

  Dikirimnya surat itu ke kak Zarkasih di Yaman. Berkat bantuan Kyai Mukrof akhirnya surat itu diterima oleh kak Zarkasih dan surat balasan itu datang sebulan kemudian, yang berisi tentang semua penerimaan akan semua yang sudah terjadi dan kata maaf sudah salah paham juga berisi tentang bahwa kak Zarkasih akan menelepon ke pesantren ini pada tanggal yang sudah ditentukan. Seminggu berlalu kyai Mukrof memanggilku ke kantornya, beliau bilang tadi ada telepon dari Yaman tapi sudah dimatikan, nanti nelpon lagi ke telpon ini.

“Jadi nanti kak Zarkasih nelpon kesini kyai?”, tanyaku penuh harap.

“Iya nduk, kamu angkat aja”, Kyai Mukrof menjawabku dengan nada bicara yang mampu membuat hatiku sejuk.

“Kyai bisa tunggu disini saja nggih?”, pintaku kepada beliau untuk tetap menemaniku selama menerima telpon dari kak Zarkasih.

“Sudahlah nduk, bicara saja sepuasnya. Kyai ada urusan sebentar, kalau sudah telponnya bilang ke kyai” jawaban ustadz ini seolah membuatku semakin galau.

“Nggih kyai, terima kasih”
Dan betul saja dari tadi tak ada telpon mungkin semua panggilan dialihkan oleh kyai ke telepon kantor sebelah. Krriiiiingg… sungguh sangat gugup aku, dengan tangan sedikit bergetar karena takut apa yang akan terjadi sekaligus senang sudah dihubungi oleh kak Zarkasih.

“Huh… Bismillah” lalu kudekatkan gagang telepon itu ke telinga kananku

“Assalamualaikum, Ani?” suara telpon dari seberang sana.

“wa’alaikum salam, iya ini Ani kak”
Kak Zarkasih melanjutkan kalimatnya dengan langsung membahas tentang perasaannya yang sebenarnya juga masih mengharapkan seorang Ani dan dia bahagia tau kebenarannya, lalu kak Zarkasih menanyakan padaku jika aku masih cinta padanya bulan depan dia akan pulang dan melaksanakan pernikahan tiga bulan kemudian. Lantas kujawab iya dan dibalas terimah kasih oleh kak Zarkasih dan ucapan salam darinya lalu telepon pun ditutup setelah kujawab salamnya, telpon itu berlangsung singkat karena telepon dari Yaman ke Indonesia lumayan mahal.

  Segera aku kabari kyai perihal apa yang terjadi di telepon tadi, kyai Mukrof lansung menyuruhku untuk segera berkemas dan bersiap-siap pulang untuk mengabari orang tua dan keluarga besarku.
“Terima kasih banyak kyai, sudah membantu semua ini” rasa haru hadir membawa beberapa butir air mata

“Iya nduk, kyai cuma bantu sedikit. Ingat ini semua rencana Allah yang terbaik untukmu nduk… selalu bersyukur ya nduk Ani”
Dan dengan jasa beliaulah rencana Allah untukku berjalan dengan baik. padahal jika dipikir-pikir sebelumnya kyai adalah orang yang melamarku untuk anaknya dan sekarang malah beliaulah yang membantuku memperbaiki hubungan dengan kak Zarkasih setelah kutolak lamarannya, terima kasih banyak kyai Mukrof. Alhamdulillah kyai Mukrof yang akan mengisi ceramah di resepsiku kelak.

  3 bulan berlalu dengan segala persiapan serta perasaanku yang campur aduk dan akhirnya hari ini tiba, aku akan menikah, membangun keluargaku sendiri, memiliki anak-anak hebat, dan aku sudah siap. Abah masuk ke kamarku setelah semua persiapan selesai, aku nampak seperti putri mengenakan gaun serba putih dan sedikit pernak-pernik mengkilap di hijabku lebar khas Yaman karena semua kebutuhan beliau bawa dari sana dan hisaan-hiasan bunga dari kain, dan gaun indah ini adalah pilihan kak Zarkasih sendiri.

“Kamu cantik banget nduk” sembari menghapus air mata bahagianya Abah menghampiriku.
Abah bahagia melihat anaknya sudah dewasa dan akan membangun keluarganya sendiri. Tak lama ke lima saudaraku masuk ke kamar pula memelukku berbarengan dengan Abah, tak kuasa menahan tangis Umi datang dan menenangkanku.

“Lelaki pilihanmu sangat tepat nduk… dia orang yang pasti membahagiakanmu, Umi tahu kamu di pilihan yang sangat tepat. Sudah jangan menangis lagi”

“Terima kasih Umi…”, kucium beliau penuh haru.
Sungguh, aku tak pernah segugup ini. Sejak aku pulang untuk mengabari semua orang tak lama kak Zarkasih pun pulang lalu memberiku gaun dan segala macam untuk pernikahan nanti, tapi aku tak pernah bertemu barang hanya melihat ujung hidungnya saja, semuanya melalui orangtua. Dan hari ini aku akan bertemu dengannya lagi, akan bersama selamanya sampai maut memisahkan.

“Assalamuaikum Ani”
“wa’alaikum salam kak”
“kamu siap menjadi istri surgawiku?”
“iya kak Zarkasih, aku siap”
“Bismillah”.

Komentar

Postingan Populer